![]() |
Adi Laksono |
Ketua Badan Koordinasi Daerah Masyarakat Perkayuan Indonesia (Bakorda MPI) Kalsel, Adi Laksono menuturkan peraturan mengenai kewajiban memiliki SLVK bagi para pengusaha perkayuan sebenarnya sudah digulirkan sejak lama. Terutama bagi para perusahaan kayu yang memproduksi mulai 2000 meter kubik hingga 6000 meter kubik kayu per tahun. “SLVK sebagai bukti bahwa perusahaan perkayuan yang bersangkutan memiliki validitas yang sah terhadap produk kayu yang dihasilkan. Selain itu, SLVK juga diperlukan untuk memastikan bahwa kayu hasil tebangan para perusahan kayu tersebut legal dan berizin,” ungkap Adi kepada Radar Banjarmasin, Senin (16/3).
Adi menjelaskan SVLK dapat diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada pemerintah melalui lembaga perkayuan resmi yang sudah ditunjuk pemerintah. “Seingat saya, ada 15 lembaga resmi yang memiliki kewenangan dari pemerintah untuk mengeluarkan SLVK. Tentunya, harus melalui tahapan analisis dan pemantauan yang mendalam dari lembaga tersebut. Dengan kata lain, harus dinillai terlebih dahulu, apakah memenuhi persyaratan dan layak mengantongi SLVK,” urainya.
Sementara, bagi perusahaan kayu yang produksinya masih di bawah angka 2000 meter kubik per tahun, maka cukup mengantongi izin Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL). “Baik SLVK maupun PHPL semuanya dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI melalui lembaga-lembaga yang sudah ditunjuk oleh pemerintah. Namun, Bakorda MPI Kalsel juga memiliki fungsi pendampingan sebagai upaya untuk memfasilitasi para pengusaha kayu di Kalsel mendapatkan SVLK maupun PHPL,” urainya.
Kendatipun sudah ditetapkan sejak lama, aturan wajib memiliki izin SVLK dan PHPL ini masih digulirkan secara bertahap di sejumlah daerah di Indonesia, termasuk di Kalsel. “Dengan kata lain, masih ada toleransi bagi para pelaku usaha perkayuan untuk mengurus izin tersebut. Sebab, kalau di Pulau Jawa, pelaku usaha perkayuan yang tidak memiliki izin tersebut akan dilarang untuk beroperasi,” tandasnya.(oza)